Halaman

Senin, 27 Desember 2010

KEPEMIMPINAN VISIONER

FIRSTING

Pada dasarnya secara naluriah manusia itu dibekali kemampuan memimpin (khalifah fil-ardhi), tapi sayang kebanyakan manusia kurang mampu mengawal kemampuan naluriahnya itu karena salah dalam mengelola potensi tersebut. Kata pakar memimpin itu seni, bukan hanya sekedar ilmu yang dijejali dengan hubungan sebab-akibat dan probabilitas saja, tapi kerja seni yang mampu menempatkan fungsi-fungsi keahlian seorang bawahan menggerakkan rantai organisasi berjalan sebagaimana mestinya, tanpa mengurangi kebebasan seorang bawahan tersebut untuk mewujudkan inisiatif dan kreatifitasnya sehingga visi utama organisasi tercapai. Seperti perumpamaan debu tayamum yang mampu menggantikan fungsi air sebagai media sekaligus kekuatan yang bisa merubah tubuh yang najis (organisasi yang kacau dan stagnan) menjadi tubuh yang suci (organisasi yang baik dan dinamis).

LEADERSHIP

Kepemimpinan itu memiliki posisi yang strategis dalam mendinamiskan sekaligus mengendalikan perilaku organisasi, sehingga fungsi-fungsi seluruh bagian organisasi berjalan efisien dan efektif. Setelah itu kepemimpinan tak cukup berarti lagi kecuali sebatas sebagai perekat atau simbul efisiensi dan efektifitas itu sendiri.

Dalam Islam kepemimpinan itu sarat dengan tanggung-jawab yang sangat besar karena secara filosofis terkait dengan kewajiban simbiosis dan kolaboratif antara yang ilahiyah, yang insaniyah dan bahkan yang alamiyah. Belum lagi jika dilihat dari dimensi kepentingan diri dan kenpentingan sosial?. Oleh karena itu dalam akhlak Islam “jabatan” tak boleh diminta apalagi direbut dengan muslihat kotor (rekayasa politik golongan) itu sangat tidak islami artinya ya tidak ilahiyah, tidak insaniyah dan tidak alamiyah. Orang yang meminta jabatan itu adalah orang yang sombong kepada Allah dan tidak tawadhu’ kepada Rasulullah Saw, maka tak pantas diberi jabatan. Mestinya jabatan itu diperoleh melalui proses yang berdimensi ilahiyah, insaniyah dan alamiyah artinya syarat seorang pemimpin itu mesti diumpamakan seperti “air” ia mampu membersihkan tubuh yang kotor, menghidupkan pohon yang mati, dan setia menuju dataran yang paling rendah. Jadi Islam mensyaratkan pemimpin puncak itu seperti air yang mampu membersihkan organisasi dari masalah yang dihadapi, mampu mengembangkan organisasi menjadi besar dan sehat, dan selalu berorientasi kepada kesejahteraan dan kesuksesan bersama. Sementara pemimpin dibawahya dan staf, ya paling tidak seperti “debu tayamum” yang mampu berfungsi sebagai pengejawantah dan pelaksana kebijaksanaan pemimpin puncak. Demikian pula proses suksesi harus mengalir seperti air, tak boleh ada rekayasa kecuali menjalankan prinsip-prinsip leadership. Maka hasil evaluasi kemampuan yang sudah dibuktikan dalam perjalanan kariernyalah yang menjadi pertimbangan utama suksesi.

VISIONER

Pemimpin itu mesti memiliki visi besar yang mulya dan mampu mengawal visi-nya tersebut dari segala macam ancaman dan tantangan baik internal maupun eksternal. Juga mampu diwujudkan dalam bentuk rencana program yang terukur capaiannya, punya peluang besar untuk dilaksanakan karena didukung oleh data yang sudah teruji validitas-nya, dan visi yang diagungkan itu memang merupakan mimpi semua stageholder dan bahkan mungkin mimpi mulya semua manusia.

Apakah anda mempunyai visi mulya? Sebenarnya mudah mengukur apakan seorang pemimpin dan pejabat itu memiliki visi seperti “air” dan paling tidak seperti “debu tayamum” yang mampu menyehatkan lembaga dan membesarkannya berbasis kesejahteraan bersama atau anda hanya sekedar pemuas ambisi kekuasaan pribadi belaka yang meduakan tanggung-jawab dan mendahulukan hak dan fasilitas?

AWARE, LEARN, LEAD, INSPIRE

Hari ini saya bersumpah untuk mengajak semua pejabat dan staf untuk sadar diri dan intruspeksi diri apakah kita sudah bekerja sesuai visi IAIN Sunan Ampel? Atau bahkan belum tahu visi tersebut? Atau bahkan kita telah bekerja bertentangan dengan visi tersebut? Marilah kita belajar dari kegagalan masa lalu untuk kemudian merubah sikap dan perilaku berorganisasi sesuai tugas dan fungsi yang diembannya, berfikir dan bekerja keras memajukan lembaga, menjadikan kepemimpinan visoner yang mampu melahirkan inspirasi-inspirasi baru menuju lahirnya kembali IAIN Sunan Ampel yang unggul, mampu bersaing di skala regional dan bahkan internasional.

KEJAHATAN SEKSUAL DALAM AL-QUR'AN

FIRSTING

Membicarakan perilaku seksual manusia dari segi manapun pasti menarik, termasuk dari sisi buruknya yaitu kejahatan seksual atau yang biasa disebut dengan “perbuatan keji”. Secara jelas al-qur’an menyebut perbuatan keji dalam empat bentuk kata (Al-fahsyaak disebut 7 kali, Faahisyah juga disebut 7kali, Al-Faahisyah disebut 5 kali, dan Al-fawaahisya disebut 4 kali) dan khusus untuk sebutan Al-fawaahisya al-qur’an membagi dalam dua sisi, yaitu yang lahir (terang-terangan) dan yang batin (sembunyi-sembunyi) yang menurut Syahrul dimaknai kejahatan seksual diluar ikatan perkawinan dan kejahatan seksual didalam ikatan perkawinan.

KEJAHATAN SEKSUAL

Kata al-fahsyaak dalam surat al-baqarah ayat 169 disejajarkan dengan kata “as-suuk” atau kejahatan dan pada ayat 268 surat yang sama dihubungkan dengan kemiskinan yang keduanya merupakan tema ajakan syetan yang diterangkan al-qur’an sebagai wujud ketidaktahuan atau kebodohan dan ketidakberdayaan manusia, karena kemiskinanlah diantaranya maka timbul kejahatan seksual, seperti pelecehan seksual, perkosaan, sodomi terhadap anak jalanan dll, karena itu benar pendapat yang mengatakan musuh utama masyarakat beriman adalah kemiskinan, karena kemiskinanlah sumber semua penyakit sosial.

Pada surat an-nahl ayat 90 kata al-fahsyaak disejajarkan dengan kemungkaran dan permusuhan, supaya manusia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa itu,demikian penjelasan ayat tersebut. Kemudian diulang pada surat an-nur ayat 21 dengan penjelasan bahwa manusia selamanya tak akan bisa bersih dari kejahatan seksual (al-fahsyaak) tersebut kecuali semata karena karunia dan rahmat Allah. Barangkali karena kebutuhan sek sebenarnya merupakan kebutuhan muyassar yang suci dan mesti dijaga kesucian dan kemurniannya, apalagi kita tahu hanya melalui hubungan seksuallah maka keturunan manusia akan terjaga kelanggengannya. Dan didalam surat al-ankabut ayat 45 dinyatakan hanya dengan melalui salat atau dzikirlah (mengingat Allah) al-fahsyaak kemungkinan bisa dihindari. Kemudian al-qur’an memberikan contoh peristiwa al-fahsyaak pada surat Yusuf ayat 24 terkait dengan peristiwa antara Nabi Yusuf dengan Zulaikhah yang digambarkan keduanya memang mulai larut, namun kemudian Yusuf secara sepihak sadar untuk menolak (karena intervensi Allah).

Selanjutnya, berbeda dengan istilah al-fahsyaak, setiap al-qur’an menyebut kata Faahisyah kebanyakan terkait dalam persoalan hubungan suami-istri didalam ikatan perkawinan syah, sebagaimana disebutkan dalam surat an-nisa ayat 19 dikaitkan dengan pengambilan kembali apa yang sudah diberikan kepada istri (mas kawin), sedang di ayat 25 pada surat yang sama dikaitkan dengan perkawinan lelaki merdeka dengan seorang budak, dan pada surat al-ahzab ayat 30 dikaitkan dengan istri-istri para Nabi. Berbeda ketika disebut di surat ali –imran ayat 135 faahisyah disetarakan dengan menganiaya diri sendiri dengan sadar, barang kali juga karena ketidakberdayaan istri terhadap sikap suami. Juga dikaitkan dengan peristiwa diusirnya Adam dan Hawa dari sorga, baginya faahisyah merupakan perilaku turun menurun buat anak cucu Adam seperti dijelaskan dalam surat al-a’raf ayat 28, dan pada surat an-nisa ayat 22 menikahi janda bapaknya sendiri merupakan salah satu bentuk faahisyah termasuk juga perzinahan yang disebut pada surat al-isra’ ayat 32.

Sedang kata al-faahisyah dalam surat an-nur ayat 19 dihubungkan dengan keinginan memberitakan perbuatan keji sebagai sebuah kebanggan atau bisa juga menuduh orang lain berbuat keji (terutama terhadap istri), dimana dalam surat an-nisa ayat 15 tuduhan atas perbuatan keji itu tidak mudah karena dibutuhkan syarat persaksian oleh empat saksi mata yang bisa dipertangungjawabkan, artinya keempat saksi tersebut benar-benar mengetahui peristiwa tersebut dengan ainul yakin. Pada surat yang lain (al-a’raf ayat 80, al-naml ayat 54, dan al-ankabut ayat 28) kata al-faahisyah dihubungkan dengan perbuatan homoseksual yang dilakukan oleh ummat Nabi luth yang ketika itu dipandangnya sebagai kejahatan seksual yang tak pernah dilakukan oleh ummat sebelumnya di jagat alam ini.

Untuk istilah terakhir al-fawaahisya al-qur’an selalu membandingkan dengan perbuatan buruk yang lain, seperti dalam surat al-an’am ayat 151 disebut sebagai salah satu yang diharamkan Tuhanmu disampaing yang lain seperti menyekutukan Allah dengan sesuatu, menggugurkan janin karena takut tak bisa memberi makan, dan membunuh jiwa tanpa sebab yang hak. Pada surat al-a’raf ayat 33 al-fawaahisya disejajarkan dengan perbuatan dosa dan pelanggaran hak sesama manusia, pada surat asy-syura ayat 37 disetarakan atau berada dibawah sedikit dengan dosa-dosa besar, dan pada surat an-najm ayat 32 berada ditengan antara dosa-dosa besar dan kesalahan kecil.

KESIMPULAN

Dari penjelasan ayat-ayat diatas dapat ditarik sebuah diskripsi bahwa kejahatan seksual dengan sebutan al-fahsyaak lebih menekankan pada kesadaran bahwa perbuatan al-fahsyaak bukan perbuatan yang berdiri sendiri melainkan disebabkan bisa karena kebodohan dan kemiskinan yang itu kayaknya memang tak bisa dihindari oleh masyarakat apapun, karena itu penghindarannya bergantung kepada karunia dan rahmat Allah, dan pengkondisian itu hanya bisa diwasilahi melalui salat dan dzikir kepada-Nya.

Sedang kejahatan seksual dengan sebutan faahisyah lebih banyak disebabkan munculnya ketidak harmonisan hubungan suami istri bisa disebabkan karena faktor ketidak kufuan, status sosial, tingkat pendidikan, juga lunturnya perasaan cinta dan tanggung-jawab baik dari fihak suami maupun istri. Dan mengapa disebut sebagai kejahatan yang tersembunyi (menurut istilah Sahrul) karena itu terjadi dalam ikatan pernkahan yang sah.

Selanjutnya untuk sebutan al-faahisyah rupanya terkait dengan status perbuatan tersebut sebagai deretan perbuatan dosa besar yang diharamkan Allah dengan urutan yang paling tingggi adalah dosa menyekutukan Allah dengan sesuatu, pengguguran janin karena takut tak bisa memberi makan, baru kemudian kejahatan seksual dan yang terakhir adalah pembunuhan jiwa tanpa alasan yang dibenarkan hukum agama.

Yang terakhir adalah sebutan al-fawaahisya merupakan bentuk jamak dari ragam kejahatan seksual yang kemudian dikategorikan dalam dua model : kejahatan seksual yang tersembunyi karena dilakukan dalam bingkai ikatan pernikahan yang syah akibat tak adanya keharmonisan hubungan suami istri dan yang bersifat terang-terangan karena dilakukan akibat adanya ketidak laziman seperti antara lain: homoseksual, lesbian, perkosaan, sodomi dll.