Halaman

Rabu, 22 Oktober 2008

KESALEHAN RITUAL VS KESALEHAN SOSIAL

Nabi dalam hadisnya pernah menjelaskan tentang orang muslim kelak diakhirat akan mengalami kebangkrutan (muflis) karena ketika meninggal hanya membawa pahala salat, puasa dan haji. Disisi lain dia tidak mampu membangun kesalehan sosial yaitu berbuat kebajikan atas sesamanya, bahkan cenderung menjadi orang yang mementingkan dirinya sendiri. Dalam teks hadis tersebut Nabi menerangkan bahwa pahala ibadah ritual mereka akan ditukarkan dengan dosa-dosa orang yang mereka sakiti atau langgar hak-haknya ketika hidupnya di dunia.


Dalam sebuah hadis yang lain Nabi Muhammad memberi apresiasi tiga bentuk kesalehan sosial yang dalam bahasa hadis tersebut disebut sebagai: sodaqatun jariyatun, ilmun yuntafa'u bihi, dan waladun shalihun yad'ulah. ketiganya merupakan sebuah amalan yang pahalanya tak pernah pupus dan bertambah terus meski orang yang beramal tersebut sudah meninggal.


Ketiga bentuk kesalehan sosial diatas jika ditinjau dari perspektik pengelolaan manajemen modern sebenarnya bisa dipahami sebagai upaya sistimatis Nabi menancapkan tiga tonggak dasar pembangunan masyarakat modern yaitu memperkuat infrastruktur masyarakat, membangun sain dan teknologi dan menyiapkan sumberdaya manusia yang handal.

Melihat fenomena masyarakat Islam sekarang terlihat bahwa mereka lebih mengedepankan kesalehan ritual (simbolik) daripada kesalehan sosial, seperti mereka lebih suka beribadah haji berkali-kali daripada consern membangun fasilitas pendidikan, pemimpin mereka lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat menjaga kemurnian dan kebakuan sebuah ajaran dari pada peka menyelesaikan problem sosial masyarakat dengan melakukan reinterpretasi ajaran atau bahkan kalau perlu melakukan dekonstruksi ajaran. Bukankah agama diturunkan untuk kemaslahatan manusia? Seharusnya sudah waktunya agama banting stir dari orientasi halal haram dari perspektif hukum kepada orientasi pelayanan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan perinsip mencari kemudahan untuk sampai kepada kemaslahatan dan kesejahteraan.

Kamis, 16 Oktober 2008

Seks berdasar Cinta dan Norma Masyarakat

Seks sebagaimana makan dan minum adalah kebutuhan muyassar manusia, suatu yang mustahil dihindari. Ketika kebutuhan seks itu muncul hampir dipastikan manusia tak bisa menghindar. Sebagai makhluk biologis ia terdesak dari dalam untuk segera memenuhi kebutuhan tersebut, tetapi sebagai makhluk psikologis dan sosial ia mesti mempertimbangkan nilai-nilai yang disepakati masyarakat, apakah masyarakat bisa menerima atau menolak model pemenuhan kebutuhan seks tersebut.
Sebaliknya cinta adalah sebuah anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia yang dikehendakinya. Cinta adalah suatu kekuatan dari hati (qalbu) yang paling dalam yang manusia sendiri tidak akan mampu mendefinisikan secara akurat kecuali kehadirannya dirasakan sebagai suatu yang menggetarkan dan menyebabkan semuanya menjadi indah dan menggairahkan.
Wilayah Seks dan Cinta sebenarnya berbeda dalam dimensinya. Seks adalah kebutuhan tubuh, sedang cinta kebutuhan ruhaniyah, tapi keduanya berada dalam diri manusia seutuhnya. Artinya seks berdasar cinta berbeda dengan seks semata-mata pemenuhan hawa nafsu. Pemenuhan seks berdasar cinta itu suci, jika dilihat dari esensinya, apakah dilakukan dalam wadah pernikahan atau diluar pernikahan?
Mempertimbangkan norma yang disepakati masyarakat dalam memenuhi kebutuhan seksual itu sebenarnya diluar esensi masalah diatas, artinya norma tersebut masih bisa disesuaikan dengan perkembangan dan kemaslahatan manusia. Dan jika itu terkait dengan nilai agama maka tentunya perlu juga ditinjau kembali makna atau definisi "Zina" itu sendiri dengan segala konsekwensinya agar masyarakat makin memiliki pilihan yang lebih banyak dan tentunya dapat menjawab permasalahan kontemporer.
Para pembaca jangan emosional membaca pikiran saya ini, karena ijtihad itu salahpun masih dihargai dari pada hanya bisa menebarkan kemarahan dan kebencian.