Halaman

Jumat, 05 Februari 2010

Larut Dalam kelahiriyahan Profanitas Yang Hampa

Dalam renungan jum'at ini saya mengingatkan kepada diri dan Saudara semuanya, akhirr-akhir ini ummat Islam diselimuti oleh sebuah penyakit yang oleh para Sufi disebut larut dalam kelahiriyahan profanitas yang hampa. Sebuah suasana hidup yang dihiasi oleh terbelahnya dua alam yaitu yang lahiriyah (pendekatan fiqih atau hukum normatif) dan yang batiniyah (pendekatan tasawuf atau akhlaqi), dan kebanyakan ummat terperangkap dalam paham eksoterisme yang cenderung memandang segala sesuatu pada nilai luarnya.
Seperti kita saksikan Asma Allah adalah perkataan Mulia yang oleh al-qur’an diibaratkan pohon yang baik, sedang omongan kosong atau profan, yakni ucapan lahiriyah yang hampa, adalah kalimat hina yang oleh al-qur’an diserupakan dengan pohon buruk yang akar-akarnya lintang pukang dipermukaan tanah, sehingga tak bakal lestari. ”wamatsalu kalimatin khabitsatin kasyajaratin khabistatin ijtutstsat min fauqil ardli maa lahaa min qaraarin”(QS.Ibrahim14: 26).

Para Sufi tak bisa menolak kelahiriyahan karena itu merupakan salah satu dari Asma Allah, tetapi mesti dingat bahwa dalam hakikat, yang lahir dan yang batin itu satu. Karena itu, kelahiriyahan harus dipertalikan dengan yang batin, baginya dunia ini adalah dunia simbul-simbul. Yang ditampik para Sufi ialah kelahiriyahan profanitas yang independen, yang disini sang ego menumpahkan perhatiannya pada sesuatu semata-mata demi ”sesuatu” itu sendiri. Namun secara metodis, karena kelahiriyahan semacam ini telah menjadi ”watak kedua ” manusia (menjadi sebuah sistem hidup yang terstruktur), keseimbangan itu perlu dipulihkan dengan sedapat mungkin menyingkirkan secara temporal semua kelahiriyahan.
Dari titik pandang inilah sosok Sufi Hatim Al-Asham berkata: ”Setiap pagi setan bertanya kepadaku, apa yang akan kau makan, apa pula yang akan kau kenakan, dan dimana kau akan tinggal ?. Kemudian aku menjawab: Aku akan memakan ajal, mengenakan kafan , dan tinggal didalam kubur.

Salah satu kunci qur’ani tentang makna-makna batiniyah adalah ayat 53 surat fushshilat:
”sanuriihim ayatina fil afaaqi wa fii anfusihim, hatta yatabaiyyana lahum annahul haq, akan kami tunjukkkan kepada mereka ayat-ayat kami disegenap penjuru bumi dan dalam diri-diri mereka sendiri”.
Ini menunjukkan adanya pertalian antara fenomena lahiriyah dan indra-indra batiniyah. Ketika itulah seharusnya seluruh aktifitas profan kita teraliri oleh kejernihan Kalbu. Dan ayat-ayat tersebut secara khusus mengandung pelajaran agar menelaah mana diantara ”tanda-tanda disegenap penjuru bumi” itu yang merupakan simbolnya dan yang hanya merupakan dampak dari kelahiriyahan profanitas yang independen.
Sebagai pusat seluruh kemaujudan kita, kalbu adalah Matahari batiniyah kita. Tapi kadang kita tak mampu menangkap cahayanya karena ada hijab mendung yang menyelimuti hati itulah dosa-dosa profaniah. Jangan kotori hatimu dengan sikap dan perilaku buruk yang menyesakkan.

Membangun Profesionalisme Berbasis Al-Hanifiyah Al-samhah

Profesionalisme kita akui telah memarakkan jagad kerja masyarakat kontemporer, Al-qur’an sendiri dalam doktrinnya selalu mengulang-ulang jargon “amanu wa amilu al-shalihat” artinya motto yang dikedepankan adalah jika aku beriman maka aku harus bekerja sebaik-baiknya, bukan hanya sekedar mendewakan pikiran semata, karena dalam berkreasi tersebut, Islam menghendaki dibarengi dengan keberpihakan kepada memberdayakan yang lemah dan terbelakang.
Profesionalisme merupakan kemampuan manajerial yang inovatif, lentur, handal dan beretos kerja tinggi, serta memberdayakan yang lemah dengan mengacu pada visi dan nilai-nilai organisasi. Profesionalisme bisa jadi merupakan sebuah wahana kunci menuju jalan kesuksesan, bahkan mungkin juga keberkahan karena profesionalisme itu identik dengan buah keihlasan itu sendiri.
Agama Al-hanifiyah as-samhah yang diajarkan Ibrahim memiliki prinsip Tauhid menentang segala bentuk penindasan, semangat menggali kebenaran dan toleran terhadap adanya perbedaan, Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw ditanya: “agama mana yang paling dicintai Allah? Nabi menjawab: “semangat kebenaran yang toleran, al-hanifiyah as-samhah”. Sebuah agama yang mengedepankan kebebasan berkepercayaan dan menolak segala bentuk pemaksaan. Jadi yang dibangun Ibrahim dan para Nabi setelahnya adalah agama yang inklusif yang bersifat terbuka untuk diinterpretasikan oleh siapapun demi sebesar-besar kemaslahatan ummat manusia.
Karena itu, profesionalisme hanya tumbuh dalam masyarakat yang bebas berkreasi dan terbuka untuk dikritisi, profesionalisme sejati tak akan dapat tumbuh dalam masyarakat agama yang statis dan eksklusif, karena kondisi yang demikian hanya melahirkan masyarakat yang reaktif dan selalu curiga terhadap perubahan dan pembaharuan padahal perubahan merupakan keniscayaan dalam etos kehidupan yang berorientasi kedepan.
Ada tiga pilar profesionalisme yang mesti dicermati: Pertama individu yang punya high need for achievement (atau sering disebut sebagai NAch = need for achievement). Yaitu gairah untuk melakoni kerja yang sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya (Ihsan dan Itqon) demi terengkuhnya hasil karya yang juga layak dibanggakan. Disana yang muncul adalah sebuah etos, sebuah dedikasi, dan sebuah tanggungjawab untuk meretas prestasi terbaik.
Pilar profesionalisme yang kedua adalah sebuah ikhtiar untuk terus belajar mengembangkan kompetensi diri. Sebuah tekad yang dibalut oleh semangat untuk mempraktekkan prinsip lifetime learning (belajar sepanjang hidup). Bagi mereka selalu akan ada celah dan ruang untuk terus memekarkan potensi dan kapasitas diri. Selalu akan ada jalan untuk merekahkan pengetahuan, mengasah ilmu dan merajut ketrampilan.
Pilar profesionalisme yang ketiga adalah yang paling penting yaitu ruh spiritualitas yang kokoh yang bersemayam dalam relung hati yang tulus. Inilah sebuah semangat yang selalu percaya bahwa segenap laku jejak kehidupan profesional kita selalu ditautkan pada pengabdian kepada Sang Maha Mencipta. “Dan sesungguhnya, sholatku, ibadahku, dan hidup matiku hanyalah untuk Tuhan Sang Pencipta Alam”.
Sebuah hadis otentik menuturkan: “mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah, meskipun pada keduanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah”.
Dalam suatu hadis Kudsi dika­takan, "barang siapa tak mampu men­cukupi dirinya di dunia, tak ada tempat baginya di surga."