Halaman

Kamis, 16 Oktober 2008

Seks berdasar Cinta dan Norma Masyarakat

Seks sebagaimana makan dan minum adalah kebutuhan muyassar manusia, suatu yang mustahil dihindari. Ketika kebutuhan seks itu muncul hampir dipastikan manusia tak bisa menghindar. Sebagai makhluk biologis ia terdesak dari dalam untuk segera memenuhi kebutuhan tersebut, tetapi sebagai makhluk psikologis dan sosial ia mesti mempertimbangkan nilai-nilai yang disepakati masyarakat, apakah masyarakat bisa menerima atau menolak model pemenuhan kebutuhan seks tersebut.
Sebaliknya cinta adalah sebuah anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia yang dikehendakinya. Cinta adalah suatu kekuatan dari hati (qalbu) yang paling dalam yang manusia sendiri tidak akan mampu mendefinisikan secara akurat kecuali kehadirannya dirasakan sebagai suatu yang menggetarkan dan menyebabkan semuanya menjadi indah dan menggairahkan.
Wilayah Seks dan Cinta sebenarnya berbeda dalam dimensinya. Seks adalah kebutuhan tubuh, sedang cinta kebutuhan ruhaniyah, tapi keduanya berada dalam diri manusia seutuhnya. Artinya seks berdasar cinta berbeda dengan seks semata-mata pemenuhan hawa nafsu. Pemenuhan seks berdasar cinta itu suci, jika dilihat dari esensinya, apakah dilakukan dalam wadah pernikahan atau diluar pernikahan?
Mempertimbangkan norma yang disepakati masyarakat dalam memenuhi kebutuhan seksual itu sebenarnya diluar esensi masalah diatas, artinya norma tersebut masih bisa disesuaikan dengan perkembangan dan kemaslahatan manusia. Dan jika itu terkait dengan nilai agama maka tentunya perlu juga ditinjau kembali makna atau definisi "Zina" itu sendiri dengan segala konsekwensinya agar masyarakat makin memiliki pilihan yang lebih banyak dan tentunya dapat menjawab permasalahan kontemporer.
Para pembaca jangan emosional membaca pikiran saya ini, karena ijtihad itu salahpun masih dihargai dari pada hanya bisa menebarkan kemarahan dan kebencian.

4 komentar:

Bronfit mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Phy_sunan ampel mengatakan...

apa wali harus dipenuhi toh? bukankah "Qobiltu ..." sudah syah menurut Allah?
namun untuk kemaslahatan jangka panjang, syarat yang lain yo harus dipenuhi, Mr. bronfit...

Abdurrahman Chudlori mengatakan...

Ya bisa aja menikah tanpa wali menurut salah satu madzhab fiqh tapi di ndonesia tidak ada payung hukum yang membenarkah. Mungkin benar menurut agama tapi tidak memiliki kekauatan hukum ketika kedua pasangan berselisih dan biasanya pihak wanita yang dalam posisi lemah

Abdurrahman Chudlori mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.