Halaman

Rabu, 19 November 2008

MEMBEBASKAN AGAMA DARI OTORITARIANISME

Pada dasarnya agama itu sebatas petunjuk melengkapi hidayah lain yang melekat pada diri manusia seperti, instink, gharizah dan akal. Karena itu tugas seorang Rasul Muhammad tak lebih hanya menyampaikan saja secara bebas dan tulus, tak ada otoritas untuk memaksa manusia mengikutinya, bahkan terhadap kerabatnya (paman) sendiri. Seperti dikatakan sendiri oleh rasul Muhammad, ia diutus semata untuk menyempurnakan akhlak manusia, bukan untuk membangun kekuasaan. Ia mengajarkan nilai-nilai universal kepada ummat manusia. Ia memformat nilai-nilai tersebut dalam sebuah ajaran syari’ah yang didalamnya mengandung nilai-nilai luhur kemanusiaan meliputi: landasan berkepercayaan dan berkeyakinan yang bebas dan terbuka, hukum-hukum yang penegakannya mejunjung tinggi rasa keadilan dan norma – norma pergaulan bermasyarakat yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulya.
Agama bukan idiologi dan doktrin tertutup, ia ujaran yang bersifat terbuka dan berorientasi jauh kedepan, menjunjung tinggi akal pikiran dan kreativitas, ia toleran terhadap perbedaan dan perubahan. Ajarannya bersifat membebaskan manusia untuk terus berijihad mencari kebenaran dalam wujudnya yang disesuaikan dengan kepentingan yang maslahah bagi kemanusiaannya. Oleh karena itu, ketika agama dijadikan alat legitimasi politik Negara/lembaga atau golongan/partai politik, maka agama menjadi kehilangan elan fitalnya yang membebaskan berubah menjadi doktrin tertutup dan otoriter.
Akibatnya agama tidak lagi menjadi sumber inspirasi manusia dalam membangun kehidupan dunianya, melainkan hanya sebatas tempat pelarian akibat ketidak berdayaannya menghadapi perubahan yang begitu cepat dalam hidupnya. Wahyu yang wujudnya berupa teks suci merupakan kitab terbuka yang sangat toleran terhadap perbedaan dan perubahan menuju yang lebih bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaannya. Teks suci tersebut harus diposisikan sebagai teks yang bebas dibaca di interpretasikan oleh siapapun tanpa ada sekat primordialisme, seperti diungkapkan dalam sebuah hadis Nabi “ la rahbaniata fi al-Islam”, tak ada seorangpun (setelah Nabi) yang diberi otoritas oleh Tuhan menyampaikan dan menginterpretasikan kebenaran mutlak atas nama Tuhan. Jadi lembaga semacam MUI tak dibutuhkan ummat yang dibutuhkan ummat adalah lembaga yang dapat melayani kebutuhan social ummat, seperti mengentas kemiskinan, kebodohan dan melindugi minoritas dari ancaman hegemoni mayoritas.

3 komentar:

devyzcodez mengatakan...

HallO...Mr.LoVe!!! nEy aNak Didik Bapak di Fak.Dakwah...Jur PsiKologi,J2/1...ney DeWi pak..!! BaguzZZ...bgt pemikiran2 yg dituangkan dalam blog ini, walaupun agak bertentangan dengan diri saya tp saya menghargai sebuah karya yg nantinya mungkin bisa merubah dunia....he..he..he..

Abdurrahman Chudlori mengatakan...

trims atas komentarnya saya hanya ingin ada perubahan d masyarakat saya takut agama hanya djadikan tempat pelarian ketika kita tak berdaya menghadapi perubahan hehe

Faradila Puspita Ramadhani mengatakan...

semakin banyak pak org yg menjadikan agama sebagai kambing hitam untuk memenuhi nafsu individualis. saya menilai bahwa agama itu adalah wilayah sensitif yg tidak bisa dikait-kaitkan dengan apa yg ada dalam realitasnya. sebab banyak diantara kita yang membelokkan diri dari kebenaran Tuhan ketika berjalan di dunia.

sy ank jurusan PMI/1C pak. sy mengagumi cara berfikir bapak.