Halaman

Jumat, 05 Februari 2010

Membangun Profesionalisme Berbasis Al-Hanifiyah Al-samhah

Profesionalisme kita akui telah memarakkan jagad kerja masyarakat kontemporer, Al-qur’an sendiri dalam doktrinnya selalu mengulang-ulang jargon “amanu wa amilu al-shalihat” artinya motto yang dikedepankan adalah jika aku beriman maka aku harus bekerja sebaik-baiknya, bukan hanya sekedar mendewakan pikiran semata, karena dalam berkreasi tersebut, Islam menghendaki dibarengi dengan keberpihakan kepada memberdayakan yang lemah dan terbelakang.
Profesionalisme merupakan kemampuan manajerial yang inovatif, lentur, handal dan beretos kerja tinggi, serta memberdayakan yang lemah dengan mengacu pada visi dan nilai-nilai organisasi. Profesionalisme bisa jadi merupakan sebuah wahana kunci menuju jalan kesuksesan, bahkan mungkin juga keberkahan karena profesionalisme itu identik dengan buah keihlasan itu sendiri.
Agama Al-hanifiyah as-samhah yang diajarkan Ibrahim memiliki prinsip Tauhid menentang segala bentuk penindasan, semangat menggali kebenaran dan toleran terhadap adanya perbedaan, Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw ditanya: “agama mana yang paling dicintai Allah? Nabi menjawab: “semangat kebenaran yang toleran, al-hanifiyah as-samhah”. Sebuah agama yang mengedepankan kebebasan berkepercayaan dan menolak segala bentuk pemaksaan. Jadi yang dibangun Ibrahim dan para Nabi setelahnya adalah agama yang inklusif yang bersifat terbuka untuk diinterpretasikan oleh siapapun demi sebesar-besar kemaslahatan ummat manusia.
Karena itu, profesionalisme hanya tumbuh dalam masyarakat yang bebas berkreasi dan terbuka untuk dikritisi, profesionalisme sejati tak akan dapat tumbuh dalam masyarakat agama yang statis dan eksklusif, karena kondisi yang demikian hanya melahirkan masyarakat yang reaktif dan selalu curiga terhadap perubahan dan pembaharuan padahal perubahan merupakan keniscayaan dalam etos kehidupan yang berorientasi kedepan.
Ada tiga pilar profesionalisme yang mesti dicermati: Pertama individu yang punya high need for achievement (atau sering disebut sebagai NAch = need for achievement). Yaitu gairah untuk melakoni kerja yang sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya (Ihsan dan Itqon) demi terengkuhnya hasil karya yang juga layak dibanggakan. Disana yang muncul adalah sebuah etos, sebuah dedikasi, dan sebuah tanggungjawab untuk meretas prestasi terbaik.
Pilar profesionalisme yang kedua adalah sebuah ikhtiar untuk terus belajar mengembangkan kompetensi diri. Sebuah tekad yang dibalut oleh semangat untuk mempraktekkan prinsip lifetime learning (belajar sepanjang hidup). Bagi mereka selalu akan ada celah dan ruang untuk terus memekarkan potensi dan kapasitas diri. Selalu akan ada jalan untuk merekahkan pengetahuan, mengasah ilmu dan merajut ketrampilan.
Pilar profesionalisme yang ketiga adalah yang paling penting yaitu ruh spiritualitas yang kokoh yang bersemayam dalam relung hati yang tulus. Inilah sebuah semangat yang selalu percaya bahwa segenap laku jejak kehidupan profesional kita selalu ditautkan pada pengabdian kepada Sang Maha Mencipta. “Dan sesungguhnya, sholatku, ibadahku, dan hidup matiku hanyalah untuk Tuhan Sang Pencipta Alam”.
Sebuah hadis otentik menuturkan: “mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah, meskipun pada keduanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah”.
Dalam suatu hadis Kudsi dika­takan, "barang siapa tak mampu men­cukupi dirinya di dunia, tak ada tempat baginya di surga."

Tidak ada komentar: