Halaman

Jumat, 04 Maret 2011

PAKAIAN MODIS MUSLIMAH

Berbicara tentang pakaian perempuan dilihat dari perspektif keindahan pastilah sangat menarik sampai kapanpun, data membuktikan berapa milyard dolar dana disediakan untuk industri ini. Yang lebih menggelitik untuk ditulis ketika wacana agama ingin mempersempit ruang kreatifitas perancang mode pakaian dengan doktrin tentang wilayah tubuh yang boleh dan tidak boleh dibuka bagi seorang muslimah dengan ancaman neraka bagi yang melanggarnya.

Al-qur’an yang diimani muslim sebagai sumber kebenaran mutlak (walau hampir dipastikan tak ada yang qath’i) tak satupun ayat yang berbicara tentang batasan AURAT ( wilayah tubuh yang harus ditutup), bahkan ketika disebut dalam surat an-nur terkesan yang dimaksud adalah wilayah tubuh privecy perempuan. Barangkali pada dasarnya soal tutup menutup aurat merupakan keniscayaan dan hak preogatif manusia (urusan dunia, bagian dari seni keindahan berpakain yang tak efektif bila dibakukan dengan ketentuan hukum). Bisakah anda membayangkan bagaimana wujud pakaian perempuan ketika belum ditemukan bahan pakaian?, pastilah hanya wilayah tubuh tertentu saja yang ditutup. Belajar dari realitas itu, Rasullah saw ketika melihat budaya arab yang mengaharuskan perempuan menutup seluruh tubuhnya (bercadar) memerintahkan untuk membuka wajah dan telapak tangannya, karena paling tidak wajah dan telapak tangan bisa mewakili identitas diri seseorang secara minimal/standar, utamanya dalam kaitannya dengan pergaulan antar sesama manusia.

Lebih menarik lagi justru al-qur’an menyebut pakaian dengan tiga sebutan “libas, tsiyab, dan sarabil” dan dalam uraiannya, ketiga istilah pakaian tersebut tak ada hubungannya dengan perintah menutup aurat, karena menutup aurat itu bagi penulis dipandang sebagai sebuah keniscayaan bagi manusia sejak dari Adam sampai di era Yulia Peres. Libas digunakan sebagai istilah pakaian dalam arti “pakaian lahir dan batin” disebut sebagai penutup tubuh agar makin indah dan bermartabat serta secara batiniyah ditegaskan dalam surat al-a’raf ayat 26 disebut “libaasuttaqwa”, sedang tsiyab lebih dimaknai oleh penulis sebagai “pakaian metafor” yang dipenuhi dengan nuansa kebahagian dan kesedihan akhirat, identitas diri yang berhubungan dengan status manusia dihadirat Tuhannya, sementara istilah sarabil lebih dimaknai sebagai pakaian profesi (khusus) semisal pakaian tentara untuk perang dll.(dalam perspektif sekarang bisa disebut, pakaian olah raga, kelengkapan pakaian pengendara motor, dan masih banyak lagi) intinya berfungsi melindungi tubuh dari kemungkinan-kemungkinan yang membahayakan keselamatan jiwa raga dari perspektif profesi tersebut.

Budaya Jilbab

Megapa al-qur’an menyinggung budaya jilbab dalam surat al-ahzab ayat 59?, karena tema yang diusung adalah soal adab sopan santun dalam keluarga Rasulullah. Makanya ayat tersebut khusus ditujukan kepada Rasulullah, dan keluarganya serta orang-orang mukmin ketika itu, yang tentunya secara faktual bisa berinteraksi langsung dengan keluarga Rasulullah. Ayat itu tak layak diberlakukan bagi mukmin sekarang yang sudah mengglobal yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa dengan budaya warna warninya. Bagaimana mungkin sebuah budaya lama dipaksakan untuk diberlakukan buat suku atau bangsa yang lebih berbudaya? Maka mengkaitkan ayat diatas dengan kewajiban memakai jilbab bagi semua muslimah di zaman yang multikulturalisme itu adalah ajakan yang sia-sia, dan hanya menambah beban psikologis bagi kebanyakan kaum muslimah, kecuali tentunya orang yang bebal otaknya.

Pada menjelang ujung ayat diatas dijelaskan dengan tepat “dzalika adna an yu’rafna” artinya, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal. Jelas ini menyangkut identitas (dalam hal ini sebagai pengikut Nabi) ketika itu harus berbeda identitasnya dengan pengikut kafir quraisy. Cuman kalau identitas yang sangat simbolis itu diusung kembali untuk zaman sekarang apalagi dengan memakai ancaman masuk neraka, apa tidak naif itu? Yang jelas saya sebagai bangsa Indonesia tersinggung, sepertinya budaya kita lebih buruk dari budaya mereka. Padahal budaya bangsa Indonesia ini tak pernah disebut al-qur’an sebagai bangsa yang “asyaddul kufra wa nifaq”?

Tentang surat an-Nur ayat 31

Sebenarnya surat an-nur ayat 31 ini merupakan penjelasan lebih rinci sekaligus umpan balik dari ayat sebelumnya (ayat 30) yang temanya menyangkut pedoman umum pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, menyangkut didalamnya: menahan pandangan mata (lirikan nakal kali ye), memelihara/menjaga kemaluannya dari fakhisyah (kejahatan seksual), dan khusus perempuan tidak menampakkan perhiasannya (simpul-simpul seksualnya), kecuali yang biasa nampak dari padanya. karena yang demikian itu dipandangnya sebagai lebih suci dan terhormatlah. Jadi ayat ini juga tidak dalam konteks kewajiban memakai jilbab. Kalaupun didalamnya menyinggung tentang “auratun nisa’” yang dalam penjelasan ayat dikaitkan dengan anak kecil yang belum mengerti tentang aurat perempuan (wilayah khusus simpul-simpul seks) justru menjadi bukti bahwa ayat ini tidak relevan dijadikan dasar pijakan perempuan wajib memakai jilbab. Yang penting seorang muslimah itu mampu menjaga dan memelihara kehormatannya dengan menggunakan pakaian yang menutupi simpul-simpul seks-nya dengan desain yang indah dan tidak fulgar.

Simpulan yang dapat diambil dari bahasan diatas adalah bahwa seyogyanya pakaian muslimah itu harus mengadung dimensi keindahan karena pada hakekatnya perempuan itu simbul keindahan, selanjutnya mampu mewujudkan identitas diri yang plural artinya mampu menyesuaikan dengan budaya setempat, juga budaya global, dan yang lebih penting lagi mampu membentengi citra Islam sebagai rahmatan lil alamin. Simpulan diatas sudah terbukti secara historis, berapa persen sih muslimah yang menggunakan jilbab? Kalau kita boleh berandai-andai, kali ada katakanlah duapuluh persen misalnya dari seluruh populasi muslimah dunia, maka sebenarnya yang setia seratus persen dengan kreteria para Ulama penganjur jilbab tak ada separuhnya, mayoritas dari pemakai jilbab (terutama di Indonesia) sudah terkontaminasi baik dari lahirnya apalagi dari segi esensinya. Jadi perjuangan para Ulama peganjur jilbab itu bisa dikatakan mendekati sia-sia, karena mengabaikan prinsip keberagaman, kesantunan dan kemudahan dalam beragama.

Senin, 27 Desember 2010

KEPEMIMPINAN VISIONER

FIRSTING

Pada dasarnya secara naluriah manusia itu dibekali kemampuan memimpin (khalifah fil-ardhi), tapi sayang kebanyakan manusia kurang mampu mengawal kemampuan naluriahnya itu karena salah dalam mengelola potensi tersebut. Kata pakar memimpin itu seni, bukan hanya sekedar ilmu yang dijejali dengan hubungan sebab-akibat dan probabilitas saja, tapi kerja seni yang mampu menempatkan fungsi-fungsi keahlian seorang bawahan menggerakkan rantai organisasi berjalan sebagaimana mestinya, tanpa mengurangi kebebasan seorang bawahan tersebut untuk mewujudkan inisiatif dan kreatifitasnya sehingga visi utama organisasi tercapai. Seperti perumpamaan debu tayamum yang mampu menggantikan fungsi air sebagai media sekaligus kekuatan yang bisa merubah tubuh yang najis (organisasi yang kacau dan stagnan) menjadi tubuh yang suci (organisasi yang baik dan dinamis).

LEADERSHIP

Kepemimpinan itu memiliki posisi yang strategis dalam mendinamiskan sekaligus mengendalikan perilaku organisasi, sehingga fungsi-fungsi seluruh bagian organisasi berjalan efisien dan efektif. Setelah itu kepemimpinan tak cukup berarti lagi kecuali sebatas sebagai perekat atau simbul efisiensi dan efektifitas itu sendiri.

Dalam Islam kepemimpinan itu sarat dengan tanggung-jawab yang sangat besar karena secara filosofis terkait dengan kewajiban simbiosis dan kolaboratif antara yang ilahiyah, yang insaniyah dan bahkan yang alamiyah. Belum lagi jika dilihat dari dimensi kepentingan diri dan kenpentingan sosial?. Oleh karena itu dalam akhlak Islam “jabatan” tak boleh diminta apalagi direbut dengan muslihat kotor (rekayasa politik golongan) itu sangat tidak islami artinya ya tidak ilahiyah, tidak insaniyah dan tidak alamiyah. Orang yang meminta jabatan itu adalah orang yang sombong kepada Allah dan tidak tawadhu’ kepada Rasulullah Saw, maka tak pantas diberi jabatan. Mestinya jabatan itu diperoleh melalui proses yang berdimensi ilahiyah, insaniyah dan alamiyah artinya syarat seorang pemimpin itu mesti diumpamakan seperti “air” ia mampu membersihkan tubuh yang kotor, menghidupkan pohon yang mati, dan setia menuju dataran yang paling rendah. Jadi Islam mensyaratkan pemimpin puncak itu seperti air yang mampu membersihkan organisasi dari masalah yang dihadapi, mampu mengembangkan organisasi menjadi besar dan sehat, dan selalu berorientasi kepada kesejahteraan dan kesuksesan bersama. Sementara pemimpin dibawahya dan staf, ya paling tidak seperti “debu tayamum” yang mampu berfungsi sebagai pengejawantah dan pelaksana kebijaksanaan pemimpin puncak. Demikian pula proses suksesi harus mengalir seperti air, tak boleh ada rekayasa kecuali menjalankan prinsip-prinsip leadership. Maka hasil evaluasi kemampuan yang sudah dibuktikan dalam perjalanan kariernyalah yang menjadi pertimbangan utama suksesi.

VISIONER

Pemimpin itu mesti memiliki visi besar yang mulya dan mampu mengawal visi-nya tersebut dari segala macam ancaman dan tantangan baik internal maupun eksternal. Juga mampu diwujudkan dalam bentuk rencana program yang terukur capaiannya, punya peluang besar untuk dilaksanakan karena didukung oleh data yang sudah teruji validitas-nya, dan visi yang diagungkan itu memang merupakan mimpi semua stageholder dan bahkan mungkin mimpi mulya semua manusia.

Apakah anda mempunyai visi mulya? Sebenarnya mudah mengukur apakan seorang pemimpin dan pejabat itu memiliki visi seperti “air” dan paling tidak seperti “debu tayamum” yang mampu menyehatkan lembaga dan membesarkannya berbasis kesejahteraan bersama atau anda hanya sekedar pemuas ambisi kekuasaan pribadi belaka yang meduakan tanggung-jawab dan mendahulukan hak dan fasilitas?

AWARE, LEARN, LEAD, INSPIRE

Hari ini saya bersumpah untuk mengajak semua pejabat dan staf untuk sadar diri dan intruspeksi diri apakah kita sudah bekerja sesuai visi IAIN Sunan Ampel? Atau bahkan belum tahu visi tersebut? Atau bahkan kita telah bekerja bertentangan dengan visi tersebut? Marilah kita belajar dari kegagalan masa lalu untuk kemudian merubah sikap dan perilaku berorganisasi sesuai tugas dan fungsi yang diembannya, berfikir dan bekerja keras memajukan lembaga, menjadikan kepemimpinan visoner yang mampu melahirkan inspirasi-inspirasi baru menuju lahirnya kembali IAIN Sunan Ampel yang unggul, mampu bersaing di skala regional dan bahkan internasional.

KEJAHATAN SEKSUAL DALAM AL-QUR'AN

FIRSTING

Membicarakan perilaku seksual manusia dari segi manapun pasti menarik, termasuk dari sisi buruknya yaitu kejahatan seksual atau yang biasa disebut dengan “perbuatan keji”. Secara jelas al-qur’an menyebut perbuatan keji dalam empat bentuk kata (Al-fahsyaak disebut 7 kali, Faahisyah juga disebut 7kali, Al-Faahisyah disebut 5 kali, dan Al-fawaahisya disebut 4 kali) dan khusus untuk sebutan Al-fawaahisya al-qur’an membagi dalam dua sisi, yaitu yang lahir (terang-terangan) dan yang batin (sembunyi-sembunyi) yang menurut Syahrul dimaknai kejahatan seksual diluar ikatan perkawinan dan kejahatan seksual didalam ikatan perkawinan.

KEJAHATAN SEKSUAL

Kata al-fahsyaak dalam surat al-baqarah ayat 169 disejajarkan dengan kata “as-suuk” atau kejahatan dan pada ayat 268 surat yang sama dihubungkan dengan kemiskinan yang keduanya merupakan tema ajakan syetan yang diterangkan al-qur’an sebagai wujud ketidaktahuan atau kebodohan dan ketidakberdayaan manusia, karena kemiskinanlah diantaranya maka timbul kejahatan seksual, seperti pelecehan seksual, perkosaan, sodomi terhadap anak jalanan dll, karena itu benar pendapat yang mengatakan musuh utama masyarakat beriman adalah kemiskinan, karena kemiskinanlah sumber semua penyakit sosial.

Pada surat an-nahl ayat 90 kata al-fahsyaak disejajarkan dengan kemungkaran dan permusuhan, supaya manusia bisa mengambil pelajaran dari peristiwa itu,demikian penjelasan ayat tersebut. Kemudian diulang pada surat an-nur ayat 21 dengan penjelasan bahwa manusia selamanya tak akan bisa bersih dari kejahatan seksual (al-fahsyaak) tersebut kecuali semata karena karunia dan rahmat Allah. Barangkali karena kebutuhan sek sebenarnya merupakan kebutuhan muyassar yang suci dan mesti dijaga kesucian dan kemurniannya, apalagi kita tahu hanya melalui hubungan seksuallah maka keturunan manusia akan terjaga kelanggengannya. Dan didalam surat al-ankabut ayat 45 dinyatakan hanya dengan melalui salat atau dzikirlah (mengingat Allah) al-fahsyaak kemungkinan bisa dihindari. Kemudian al-qur’an memberikan contoh peristiwa al-fahsyaak pada surat Yusuf ayat 24 terkait dengan peristiwa antara Nabi Yusuf dengan Zulaikhah yang digambarkan keduanya memang mulai larut, namun kemudian Yusuf secara sepihak sadar untuk menolak (karena intervensi Allah).

Selanjutnya, berbeda dengan istilah al-fahsyaak, setiap al-qur’an menyebut kata Faahisyah kebanyakan terkait dalam persoalan hubungan suami-istri didalam ikatan perkawinan syah, sebagaimana disebutkan dalam surat an-nisa ayat 19 dikaitkan dengan pengambilan kembali apa yang sudah diberikan kepada istri (mas kawin), sedang di ayat 25 pada surat yang sama dikaitkan dengan perkawinan lelaki merdeka dengan seorang budak, dan pada surat al-ahzab ayat 30 dikaitkan dengan istri-istri para Nabi. Berbeda ketika disebut di surat ali –imran ayat 135 faahisyah disetarakan dengan menganiaya diri sendiri dengan sadar, barang kali juga karena ketidakberdayaan istri terhadap sikap suami. Juga dikaitkan dengan peristiwa diusirnya Adam dan Hawa dari sorga, baginya faahisyah merupakan perilaku turun menurun buat anak cucu Adam seperti dijelaskan dalam surat al-a’raf ayat 28, dan pada surat an-nisa ayat 22 menikahi janda bapaknya sendiri merupakan salah satu bentuk faahisyah termasuk juga perzinahan yang disebut pada surat al-isra’ ayat 32.

Sedang kata al-faahisyah dalam surat an-nur ayat 19 dihubungkan dengan keinginan memberitakan perbuatan keji sebagai sebuah kebanggan atau bisa juga menuduh orang lain berbuat keji (terutama terhadap istri), dimana dalam surat an-nisa ayat 15 tuduhan atas perbuatan keji itu tidak mudah karena dibutuhkan syarat persaksian oleh empat saksi mata yang bisa dipertangungjawabkan, artinya keempat saksi tersebut benar-benar mengetahui peristiwa tersebut dengan ainul yakin. Pada surat yang lain (al-a’raf ayat 80, al-naml ayat 54, dan al-ankabut ayat 28) kata al-faahisyah dihubungkan dengan perbuatan homoseksual yang dilakukan oleh ummat Nabi luth yang ketika itu dipandangnya sebagai kejahatan seksual yang tak pernah dilakukan oleh ummat sebelumnya di jagat alam ini.

Untuk istilah terakhir al-fawaahisya al-qur’an selalu membandingkan dengan perbuatan buruk yang lain, seperti dalam surat al-an’am ayat 151 disebut sebagai salah satu yang diharamkan Tuhanmu disampaing yang lain seperti menyekutukan Allah dengan sesuatu, menggugurkan janin karena takut tak bisa memberi makan, dan membunuh jiwa tanpa sebab yang hak. Pada surat al-a’raf ayat 33 al-fawaahisya disejajarkan dengan perbuatan dosa dan pelanggaran hak sesama manusia, pada surat asy-syura ayat 37 disetarakan atau berada dibawah sedikit dengan dosa-dosa besar, dan pada surat an-najm ayat 32 berada ditengan antara dosa-dosa besar dan kesalahan kecil.

KESIMPULAN

Dari penjelasan ayat-ayat diatas dapat ditarik sebuah diskripsi bahwa kejahatan seksual dengan sebutan al-fahsyaak lebih menekankan pada kesadaran bahwa perbuatan al-fahsyaak bukan perbuatan yang berdiri sendiri melainkan disebabkan bisa karena kebodohan dan kemiskinan yang itu kayaknya memang tak bisa dihindari oleh masyarakat apapun, karena itu penghindarannya bergantung kepada karunia dan rahmat Allah, dan pengkondisian itu hanya bisa diwasilahi melalui salat dan dzikir kepada-Nya.

Sedang kejahatan seksual dengan sebutan faahisyah lebih banyak disebabkan munculnya ketidak harmonisan hubungan suami istri bisa disebabkan karena faktor ketidak kufuan, status sosial, tingkat pendidikan, juga lunturnya perasaan cinta dan tanggung-jawab baik dari fihak suami maupun istri. Dan mengapa disebut sebagai kejahatan yang tersembunyi (menurut istilah Sahrul) karena itu terjadi dalam ikatan pernkahan yang sah.

Selanjutnya untuk sebutan al-faahisyah rupanya terkait dengan status perbuatan tersebut sebagai deretan perbuatan dosa besar yang diharamkan Allah dengan urutan yang paling tingggi adalah dosa menyekutukan Allah dengan sesuatu, pengguguran janin karena takut tak bisa memberi makan, baru kemudian kejahatan seksual dan yang terakhir adalah pembunuhan jiwa tanpa alasan yang dibenarkan hukum agama.

Yang terakhir adalah sebutan al-fawaahisya merupakan bentuk jamak dari ragam kejahatan seksual yang kemudian dikategorikan dalam dua model : kejahatan seksual yang tersembunyi karena dilakukan dalam bingkai ikatan pernikahan yang syah akibat tak adanya keharmonisan hubungan suami istri dan yang bersifat terang-terangan karena dilakukan akibat adanya ketidak laziman seperti antara lain: homoseksual, lesbian, perkosaan, sodomi dll.

Jumat, 05 Februari 2010

Larut Dalam kelahiriyahan Profanitas Yang Hampa

Dalam renungan jum'at ini saya mengingatkan kepada diri dan Saudara semuanya, akhirr-akhir ini ummat Islam diselimuti oleh sebuah penyakit yang oleh para Sufi disebut larut dalam kelahiriyahan profanitas yang hampa. Sebuah suasana hidup yang dihiasi oleh terbelahnya dua alam yaitu yang lahiriyah (pendekatan fiqih atau hukum normatif) dan yang batiniyah (pendekatan tasawuf atau akhlaqi), dan kebanyakan ummat terperangkap dalam paham eksoterisme yang cenderung memandang segala sesuatu pada nilai luarnya.
Seperti kita saksikan Asma Allah adalah perkataan Mulia yang oleh al-qur’an diibaratkan pohon yang baik, sedang omongan kosong atau profan, yakni ucapan lahiriyah yang hampa, adalah kalimat hina yang oleh al-qur’an diserupakan dengan pohon buruk yang akar-akarnya lintang pukang dipermukaan tanah, sehingga tak bakal lestari. ”wamatsalu kalimatin khabitsatin kasyajaratin khabistatin ijtutstsat min fauqil ardli maa lahaa min qaraarin”(QS.Ibrahim14: 26).

Para Sufi tak bisa menolak kelahiriyahan karena itu merupakan salah satu dari Asma Allah, tetapi mesti dingat bahwa dalam hakikat, yang lahir dan yang batin itu satu. Karena itu, kelahiriyahan harus dipertalikan dengan yang batin, baginya dunia ini adalah dunia simbul-simbul. Yang ditampik para Sufi ialah kelahiriyahan profanitas yang independen, yang disini sang ego menumpahkan perhatiannya pada sesuatu semata-mata demi ”sesuatu” itu sendiri. Namun secara metodis, karena kelahiriyahan semacam ini telah menjadi ”watak kedua ” manusia (menjadi sebuah sistem hidup yang terstruktur), keseimbangan itu perlu dipulihkan dengan sedapat mungkin menyingkirkan secara temporal semua kelahiriyahan.
Dari titik pandang inilah sosok Sufi Hatim Al-Asham berkata: ”Setiap pagi setan bertanya kepadaku, apa yang akan kau makan, apa pula yang akan kau kenakan, dan dimana kau akan tinggal ?. Kemudian aku menjawab: Aku akan memakan ajal, mengenakan kafan , dan tinggal didalam kubur.

Salah satu kunci qur’ani tentang makna-makna batiniyah adalah ayat 53 surat fushshilat:
”sanuriihim ayatina fil afaaqi wa fii anfusihim, hatta yatabaiyyana lahum annahul haq, akan kami tunjukkkan kepada mereka ayat-ayat kami disegenap penjuru bumi dan dalam diri-diri mereka sendiri”.
Ini menunjukkan adanya pertalian antara fenomena lahiriyah dan indra-indra batiniyah. Ketika itulah seharusnya seluruh aktifitas profan kita teraliri oleh kejernihan Kalbu. Dan ayat-ayat tersebut secara khusus mengandung pelajaran agar menelaah mana diantara ”tanda-tanda disegenap penjuru bumi” itu yang merupakan simbolnya dan yang hanya merupakan dampak dari kelahiriyahan profanitas yang independen.
Sebagai pusat seluruh kemaujudan kita, kalbu adalah Matahari batiniyah kita. Tapi kadang kita tak mampu menangkap cahayanya karena ada hijab mendung yang menyelimuti hati itulah dosa-dosa profaniah. Jangan kotori hatimu dengan sikap dan perilaku buruk yang menyesakkan.

Membangun Profesionalisme Berbasis Al-Hanifiyah Al-samhah

Profesionalisme kita akui telah memarakkan jagad kerja masyarakat kontemporer, Al-qur’an sendiri dalam doktrinnya selalu mengulang-ulang jargon “amanu wa amilu al-shalihat” artinya motto yang dikedepankan adalah jika aku beriman maka aku harus bekerja sebaik-baiknya, bukan hanya sekedar mendewakan pikiran semata, karena dalam berkreasi tersebut, Islam menghendaki dibarengi dengan keberpihakan kepada memberdayakan yang lemah dan terbelakang.
Profesionalisme merupakan kemampuan manajerial yang inovatif, lentur, handal dan beretos kerja tinggi, serta memberdayakan yang lemah dengan mengacu pada visi dan nilai-nilai organisasi. Profesionalisme bisa jadi merupakan sebuah wahana kunci menuju jalan kesuksesan, bahkan mungkin juga keberkahan karena profesionalisme itu identik dengan buah keihlasan itu sendiri.
Agama Al-hanifiyah as-samhah yang diajarkan Ibrahim memiliki prinsip Tauhid menentang segala bentuk penindasan, semangat menggali kebenaran dan toleran terhadap adanya perbedaan, Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw ditanya: “agama mana yang paling dicintai Allah? Nabi menjawab: “semangat kebenaran yang toleran, al-hanifiyah as-samhah”. Sebuah agama yang mengedepankan kebebasan berkepercayaan dan menolak segala bentuk pemaksaan. Jadi yang dibangun Ibrahim dan para Nabi setelahnya adalah agama yang inklusif yang bersifat terbuka untuk diinterpretasikan oleh siapapun demi sebesar-besar kemaslahatan ummat manusia.
Karena itu, profesionalisme hanya tumbuh dalam masyarakat yang bebas berkreasi dan terbuka untuk dikritisi, profesionalisme sejati tak akan dapat tumbuh dalam masyarakat agama yang statis dan eksklusif, karena kondisi yang demikian hanya melahirkan masyarakat yang reaktif dan selalu curiga terhadap perubahan dan pembaharuan padahal perubahan merupakan keniscayaan dalam etos kehidupan yang berorientasi kedepan.
Ada tiga pilar profesionalisme yang mesti dicermati: Pertama individu yang punya high need for achievement (atau sering disebut sebagai NAch = need for achievement). Yaitu gairah untuk melakoni kerja yang sebaik-baiknya dan seteliti-telitinya (Ihsan dan Itqon) demi terengkuhnya hasil karya yang juga layak dibanggakan. Disana yang muncul adalah sebuah etos, sebuah dedikasi, dan sebuah tanggungjawab untuk meretas prestasi terbaik.
Pilar profesionalisme yang kedua adalah sebuah ikhtiar untuk terus belajar mengembangkan kompetensi diri. Sebuah tekad yang dibalut oleh semangat untuk mempraktekkan prinsip lifetime learning (belajar sepanjang hidup). Bagi mereka selalu akan ada celah dan ruang untuk terus memekarkan potensi dan kapasitas diri. Selalu akan ada jalan untuk merekahkan pengetahuan, mengasah ilmu dan merajut ketrampilan.
Pilar profesionalisme yang ketiga adalah yang paling penting yaitu ruh spiritualitas yang kokoh yang bersemayam dalam relung hati yang tulus. Inilah sebuah semangat yang selalu percaya bahwa segenap laku jejak kehidupan profesional kita selalu ditautkan pada pengabdian kepada Sang Maha Mencipta. “Dan sesungguhnya, sholatku, ibadahku, dan hidup matiku hanyalah untuk Tuhan Sang Pencipta Alam”.
Sebuah hadis otentik menuturkan: “mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah, meskipun pada keduanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah menjadi lemah”.
Dalam suatu hadis Kudsi dika­takan, "barang siapa tak mampu men­cukupi dirinya di dunia, tak ada tempat baginya di surga."

Rabu, 30 Desember 2009

GUSDUR DIMATA DICK DOANK

Melihat wawancara meninggalnya Gusdur di Metro TV tadi pagi saya tertegun mendengarkan komentar bung Dick tentang Kyai Nyentrik ini, begitu arifnya Bung Dick menuturkan pandangannya tentang sosok Presiden kita yang keempat ini. Memang Gusdur telah banyak mengajarkan kearifan baru yang memiliki nilai sangat tinggi bagi bangsa ini. Tapi bagi masyarakat kebanyakan mungkin kearifan itu tak bisa dipahami, jangankan masyarakat biasa, para kyai dilngkungannya sendiri banyak yang tak paham dengan kearifannya itu. Maklum kita sudah terlalu lama sengaja membutakan mata hati kita terhadap kearifan tersebut karena keseharian kita larut dan tenggelam dalam gemerlapnya kehidupan yang mapan, termasuk barangkali jabatan ke-kyai-an yang memang secara sosiologis memberi cukup banyak kenikmatan dan kehormatan.
Gusdur mengajarkan kepada kita kesederhanaan dan kebersahajaan, jabatan itu kalau perlu digadaikan saja dengan kebenaran, tak perlu dipertahankan kalau hanya menyebabkan terjadinya kemadharatan yang lebih besar pada masyarakat.
Pendapat Dick menyentakkan saya ketika beliau menyatakan seni lebih tua dari agama dan gusdur tahu itu, seni mampu melenturkan pandangan agama yang kaku dan keras menjadi lembut dan indah. Gusdur juga telah memberikan ruang kebebasan yang luas untuk dapat digunakan sebagai tempat berekspresi tanpa rasa takut dan khawatir salah. Diruang kebebasan itulah sebenarnya kita dapat berlomba-lomba berbuat kebajikan dalam rangka mengabdi kepada sang Khalik melalui metode yang santun meski terpaksa harus menempuh jalan dan dimensi yang berbeda-beda. Kata kunci beragama itu "laa ikraaha fiddiini" yaitu kebebasan mengekspresikan keberagamaan asal dibarengi dengan niat dan ketulusan dalam meraih ridha Tuhan.
Selamat jalan Gus semoga lahir gus-gus yang bersedia meneruskan perjuanganmu, I love you full.