Halaman

Selasa, 29 Desember 2009

MEMPOSISIKAN TEKS AL-QUR'AN DAN HADIST SEBAGAI DOKTRIN KEBENARAN TUNGGAL

Bacalah atas nama Tuhanmu, itulah kunci utama yang mesti dipergunakan untuk menguak kebenaran atau tanda-tandanya baik yang ada didalam al-qur’an maupun yang digelar di alam nyata ini (antara lain termasuk sunnah Rasul). Pernyataan diatas begitu terbukanya, tentunya multi dimensi dan bebas diinterpretasikan, karenanya ayat tersebut tidak berbunyi “bacalah atas nama Allah” tapi “atas nama TuhanMu (Rabb mu) “ yang memelihara kamu, yang lebih menghidupkan kamu, karena Tuhanlah yang memberi rizki dan menggelar bumi ini untuk dapat dimanfaatkan manusia dalam mengaktualisasikan hidupnya. Antara kamu (Muhammad) dan Tuhanmu bukan dua kata yang berada dialam metafisis yang kontradiktif, melainkan dua kata yang bersimbiosis, Tuhanmu yang memfasilitasi dan manusia yang dituntut menggunakan fasilitas tersebut untuk kemaslahatan hidupmya.
Istilah “Allah” dan “Rabbika” jika dilihat dari hermeneutikanya, memiliki esensi yang satu dari segi dzatnya, tapi dalam aktualisasinya memiliki fungsi yang berbeda, Allah merupakan simbul kesatuan essensi yang metafisik, yaitu dzat yang tak bisa disentuh dan tak perlu dinalar, sedangkan Rabbika merupakan simbul kekuasaan sejati yang apresiatif yang membiarkan proses menuju tujuan ini berjalan terbuka dan penuh dinamika dan bahkan toleran terhadap terjadinya perbedaan- perbedaan asal niat dan tujuannya tetap sama yaitu mengabdi kepada Allah dan menjauhi Thaghut (kekuasaan yang mencatut nama Tuhan).
Al-qur’an adalah wahyu yang dikomunikasikan Allah kepada utusannya yang terpercaya (Muhammad) mesti dipahami dari dua perspektif. Menurut Nur Khalik Ridwan, Pertama dilihat dari sisi yang menemukan: Al-qur’an adalah hasil penemuan manusia, atau hasil dari pergolakan jiwanya. Kedua, dari sisi yang menurunkan: maka Al-qur’an mestilah diturunkan Tuhan kepada rasul Muhammad untuk disebarkan pada ummat manusia dimuka bumi ini. Pandangan ini untuk menegaskan bahwa Al-qur’an tak bisa disebut kreasi manusia , kalau rujukan yang dipakai adalah yang menurunkan. Sebaliknya, Al-qur’an bisa disebut hasil kreasi manusia dari pergolakan jiwanya, kalau yang dirujuk adalah Rasul yang melahirkan.
Sedang Sunnah Rasul atau hadist adalah model-model penjabaran ajaran Al-qur’an dan perluasannya yang dicontohkan rasul Muhammad dalam merespon dan mengkritisi model model yang dipraktekkan oleh masyarakat arab jahiliyah ketika itu yang dianggap menyimpang dan yang diprediksikan akan menjauhkan manusia dari rasa keadilan dan kesejahteraan hidup yang lebih merata serta menghancurkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Jadi posisi hadist bukan sumber kedua setelah Al-qur’an, melainkan bagian saja dari sumber kedua (yaitu alam kauniyah), hanya saja ia memiliki posisi strategis dibanding peristiwa kauniyah yang lain karena ini dilakukan Rasulullah sejak awal yang seharusnya bukan sekedar menjadi contoh melainkan menjadi sumber inspirasi karena yang direspon dan dikritisi ummatnya adalah model model perilaku masyarakat majemuk yang terus berubah karena keniscayaan zaman dan kehidupan.
Maka menjadi jelaslah memposisikan teks Al-qur’an sebagai doktrin kebenaran tunggal yang menafikan kemungkinan interpretasi yang berbeda adalah sebuah strategi yang menyesatkan karena al-Qur’an sendiri ajaranya masih sangat universal sehingga dimungkinkan penjabarannya berbeda yang bermakna bahwa yang terkandung dalam teks Al-qur’an adalah kemungkinan-kemungkinan kebenaran yang bisa menjadi kepastian-kepastian kebenaran. Apalagi sunnah rasul atau teks hadist, sangat naiflah kalau itu harus diposisikan sebagai doktrin kebenaran tunggal yang menafikan kemungkinan interpretasi yang berbeda wong hadist itu pada hakekatnya merupakan respons Nabi terhadap realitas masyarakat arab jahiliyah yang barangkali sejak awal sudah berbeda sekali misalnya dengan budaya masyarakat jawa . Jadi masyarakat Jawa tidak harus sama dong cara mengaktualisasikan Islamnya dengan masyarakat arab. Oleh karena itu segala bentuk arabisasi budaya harus ditolak oleh masyarakat Islam dunia terutama masyarakat jawa, karena kita punya budaya sendiri yang lebih terbuka, toleran dan humanis.
Jadi memposisikan teks Al-qur’an dan hadist sebagai doktrin kebenaran tunggal adalah sebuah paham pemikiran yang sangat bertentangan dengan ajaran Al-qur’an yang menghargai pluralitas dan sangat toleran terhadap perbedaan-perbedaan, dan doktrin yang dikenal sebagai wahabisme tersebut sebenarnya cerminan dari watak budaya arab yang puritan dan intoleran yang sudah kehilangan ruh keislamannya.

Tidak ada komentar: